Senin, 21 Juli 2014
BUBAR (buka Bareng) IPNU IPPNU Kuripan Lor Pekalongan Selatab
Jumat, 15 November 2013
Gema Muharram 1435 H
Muharram kali ini, pimpinan ranting IPNU IPPNU Kuripan Lor, Pekalongan Selatan, mengadakan Gema Muharram dan santunan anak yatim yang bertempat di TPQ Al-Barokah, Kuripan Lor gg.14..
Bertepatan pada tanggal 15 november dengan ketentuan tanggal hijriyahnya adalah 11 muharram 1435 H.
Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang dimana bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. sebagaimana telah tertera dalam Al-Quran :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا
عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ
كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ : التوبة : 36
Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.
Rabu, 19 Juni 2013
Biografi KH Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)
Biografi KH Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)
KH Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng,
Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren.
Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri
membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Biografi KH Hasyim Al Asy’ari dari Biografi Web
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari
yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak
lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin
pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis
ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang
juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja
Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama
Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang
konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau
adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau
Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
- Halimah (Winih)
- Muhammad
- Leler
- Fadli
- Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang
bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan
Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
- Nafi’ah
- Ahmad Saleh
- Muhammad Hasyim
- Radiyah
- Hasan
- Anis
- Fatonah
- Maimunah
- Maksun
- Nahrowi, dan
- Adnan.
Muhammad Hasyim,
lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan
tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M.
Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan
kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa
Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti
kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota
Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren
yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak
disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu
hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai
pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren
dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan
kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh
dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar
ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa
perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima
pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang
dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup
muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan
keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap
apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya
tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar
sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada
keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim
belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya
Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang,
Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban
(sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura,
di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna
Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari
“ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai
Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil
menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul
agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan
bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di
wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari
cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari
cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan
keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah
bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian
inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa
menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang.
Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul
Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya
pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa,
belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H.
Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama,
Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh
minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21
tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah
pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk
menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang
telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir
seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak
di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang
silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah
suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai
putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah
hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang
ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai
dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya
penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah
lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu,
beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa
dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci,
kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi
pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali
ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah
dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah
suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih
menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat
bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa
untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim,
dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun
selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor
pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di
antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud
Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani
(dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib
Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada
di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang
nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal
untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai
mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang
diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan
dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.
Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar
Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah
pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada
saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu
saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua
itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di
dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana
tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau
itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah
menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak
itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi
Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok
Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai
Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan
beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang
benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi
salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini
“Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan
yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari
seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh
PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng
yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan
orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang,
alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat
pondok pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan,
baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31
Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul
Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab
Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
“Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam
Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas,
Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan
apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari
terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang
pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan
mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang
tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut
pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa
beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih
besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah
atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia,
untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan
jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya
oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan
keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar
yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang
mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan
lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa
pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan
diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun
ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada
persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya
sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI)
NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu
partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran
NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan
Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial
keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan
dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan,
beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari
penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan
memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau
menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada
santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan
kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah
menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
- Harta benda yang berlimpah-limpah
- Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi
Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan
ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku
tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M.
Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu
mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan
kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau
sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat.
Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam
tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik
Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim
dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan
di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari
terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren
hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317
H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri
Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini
kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
- Hannah
- Khoiriyah
- Aisyah
- Azzah
- Abdul Wahid
- Abdul hakim (Abdul Kholiq)
- Abdul Karim
- Ubaidillah
- Mashurroh
- Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali
denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua
dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
- Abdul Qodir
- Fatimah
- Chotijah
- Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin
Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga
Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu
Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan
pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba
datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai
menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu
itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas
Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan
diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan
kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang
kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…”
kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron
bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan
tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan
kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat,
sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak
lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak
sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak
berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang
berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan
dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan
otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun
Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat
pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal
07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela
sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat,
terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan,
para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam
telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau
di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat
dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata
sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang
beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri,
mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari
penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya,
pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata
berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi,
kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya.
Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul.
Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja,
diantaranya:
- Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
- Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
- Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
- Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
- Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
- Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
- Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
- Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU
Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU; Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy’ari
Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam
proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab
Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang)
dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal:
Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan
peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai
Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu
berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa
tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie
Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada
Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai
Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai
Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk
membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba
mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan
tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu
muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan
ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah
wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk
urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok
pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan
sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga
masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh
lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi
Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di
Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran”
ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya
terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait
dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta
forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka
Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu
merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah.
Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang
terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia
mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai
seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati
yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah
seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai
KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya
sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini
kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad
sambil menerima tongkat itu.
“Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai
Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha
ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua
keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang.
Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai
Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya
erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke
Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di
sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu
teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim.
Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad
merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan
Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya
diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat
ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang
wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah
selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada
pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab
As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan
kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak
keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk
mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah
terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai
Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan
jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya,
terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok
Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan)
dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin
Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie.
Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri
untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju
kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab
langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan
seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian
jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya,
melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan
agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah
uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para
anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan
perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama.
Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan
tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak
kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih
tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung
dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna
bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim
dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya
diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil
menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya
Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di
balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu.
Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan
isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan
niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi
sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya
orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir
sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa
dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang
sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak
bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma
Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa,
keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah
menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan
jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal
pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum
berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi”
yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU,
Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya.
Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan
bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap
Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar
ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri
untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa
sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri.
“Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya
buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya
mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan
gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie
memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan
sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.”
Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar
bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih
kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Bapak Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU
yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi,
peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan.
Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan
Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU
karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam
menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan
tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil
Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan
fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak
meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu
pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik
santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir
(eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal
1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya
dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri
NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang
sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun
memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep
kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh
Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang
mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui
sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi
intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada
murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah
seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah
Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits
Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia
senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan
puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil
terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim
memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran
tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya
gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah
masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam
memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan
kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim
memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa
kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah
pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut
bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas
salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus)
dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri
NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap
kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar,
2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi
tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai
yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan
di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan
ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan
teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat
kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di
kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan
Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak
sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh
Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam.
Penulis: Moh. Syaiful Bakhri
Penulis buku “Syaikhona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari
Madura” dan sekretaris Lajnah Ta’lif Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan.
Pemuatan artikel ini juga merupakan penghormatan dan dukungan moril
kepada PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha mendorong terciptanya masyarakat
yang maju, sejahtera dan berakhlakul karimah dengan menerbitkan buletin
dua bulanan. Semoga usaha penerbitan ini bisa istiqamah.
sumber ; pesantren.or.id.29.masterwebnet.com
Sabtu, 04 Mei 2013
WISATA REALIGI IPNU IPPNU KURIPAN LOR, Pekalongan selatan
Rombongan WISATA RELIGI IPNU IPPNU Kuripan Lor |
Yang tidak kuat , bisa saja makai layanan jasa ini, hehe (^-^) |
pisangnya... di jual, cuma Rp. 1000 ( karo keplak, heheh) |
"saat pertama kali menginjakan MASJI AGUNG JAWA TENGAH, hehe :) bagaiman perasaanya Mas AS'ad? pastilah sangat bahagia,, (^-^) |
yang lain pada pose? namun itu ada penjaga sandal(mbk pipit) yangf juga mau ikut2an pose? heheh |
dilhat dari atas.... |
dilihat dari depan... |
adda penjaga tiang di masjid menara kudusss.. heheh |
ipp, berbakat menjadi Modeling euyy, hehe |
saudara kembar beda simak... (^-^) |
ciessse |
mas sony, lagi nginjen opo kui??? hayyo dek ndwur ke?? mengkooo bakale tibo mengisor lhooo, heheh:) |
sakasline potone? madepe nendi ooo? kok madepe salah keee |
Senin, 15 April 2013
Langganan:
Postingan (Atom)